Lebih dekat dengan Lamalera dalam Tradisi Baleo.

Tulisan ini pertama kali saya tulis tahun 2016 dan terbit di Rubrik Seni Budaya Majalah Mahaiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta dengan judul “Menjamah cerita dalam tradisi baleo Lamalera”. Tulisan ini lalu mengalami perubahan judul menjadi  “Lebih dekat dengan Lamalera dalam Tradisi Baleo”, ketika saya mengingat sebuah masukan dari seorang senior saya, kini dia bekerja di kantor Berita Antara News.


Lebih dekat dengan Lamalera dalam Tradisi Baleo.

 

Lamalera terkenal dengan Tradisi Baleo.

 

Oleh Anselmus Masan Rumat (Anzhello Lamablawa)

 

Saat gong berbunyi, seorang pria mengangkat sebuah kayu berukuran sebuah pendayung perahu. Lebar kayu itu bisa digenggam dengan kepalan tangan. Kayu yang sudah digenggam sudah lebih tinggi dari kepalanya. Para awak perahu duduk melingkar. Hadapan mereka tertuju kepada pria sang pemegang kayu itu. mereka lantas berdoa.


Tubuh mereka bergoyang miring ke kanan, miring kiri, kadang ke depan, kedang ke belakang. Banyak gerakan juga yang tidak teratur. Posisi duduk, posisi berdiri, dan arah gerakan tubuh mereka layaknya tengah berada di samudera yang luas, dimana tubuh mereka sedang asyik menahan terpaan deras badai dan terjangan ombak yang deras.

 

Usai doa, Lamafa (juru tombak) berdiri kokoh di ujung perahu kecil tanpa mesin. Paledang nama perahu itu. Pandangan lamafa cenderung ke depan menikmati suasana penuh angin dan tangan dengan guncangan ombak yang silih berganti. Sesekali dia menoleh ke kiri dan ke kanan. “Baleo… baleo… baleo…” seruan itu keluar dari mulutnya dan kemudian diikuti oleh asistennya, juru dayung dan juru mudi. Seruan itu muncul ketika melihat properti mamalia paus di salah satu sisi ruang pentas malam itu.


Awak Paledang mendayung perahunya sambal berseru, “Gilibe…gilibe…gilibe…” Pengucapan Gilibe diawali oleh awak Paledang terdepan kemudian diikuti satu persatu sampai awak paling belakang. Gilibe ialah seruan pemberi semangat kepada semua awak Paledang. Pengucapannya dilakukan berulang-ulang. Mereka mendayung sekuat tenaga, secepat mungkin. Makin cepat mendayung mereka makin dekat dengan properti mamalia paus buruan itu. 


Lamafa mengambil posisi nyaman untuk menombak properti berbahan kawat dan berbungkus kertas menyerupai ikan paus itu. Tempuling nama tombak itu. Tempuling yang digunakan ternyata sudah ditali sebelum mereka berburu. Tepat dibelakang Lamafa, asisten berdiri jongkok dengan sikap siaga mengatur tali yang sudah diikat di salah satu ujung tempuling. 

 

Tempuling sudah menyasar di bagian tubuh properti mamalia paus itu. dua orang pendayung keluar dari paledang. Gerakan mereka seolah menceburkan diri ke laut, menggerakan kaki dan tangan menyerupai orang berenang mendekati mamalia tangkapan. Mereka berdua menikam lagi mamalia yang sudah ditombak itu. titik tikaman tepat di kepala dan bagian properti mamalia raksasan itu. 


Kenong, nama alat musik suku Kedang itu, ditabuh dengan irama dalam tempo tertentu. Sambal menari, asisten Lamafamenggulung tali. Seorang awak mengatur layer perahu tradsional itu. mereka menepi sambal menarik paus hasil buruan. Itulah peragaan tarian Baleo Leva Nuang di atas sebuah arena pentas malam itu. Tarian Leva Nuang di peragakan oleh penari lelaki. Leva Nuang mengisahkan berburu mamalia Paus yang hanya dilakukan oleh kaum lelaki. 

 

Cahaya obor ikut menerangi ruang pentas malam itu. perempuan yang memegang obor itu menuju suatu titik tujuan. Sekelompok tujuan lain dengan menjunjung bakul berjalan mengikutinya. Bakul itu memuat daging mamalia paus hasil buruan. Cahaya obor itu mengisahkan bahwa suasana saat itu pada pukul tiga dini hari.

 


Dalam tarian itu, ada gerakan tangan si penari memberi dan menerima. Sesekali tangan si penari mengulur ke depan dan kembali ke pelukan penari itu. Gerakan tangan itu layaknya memberi dan menerima sesuatu ke pihak sebelah. Itu adalah gerakan Barter oleh ibu-ibu Lamalera. 

 

Tong… tong… tong… suara kenong berbunyi, berganti tempo yang berbeda. Temponya dibuat lebih cepat. Tiba tiba suatu kelompok penasi masuk dalam arena peragaan. Awalnya tarian membentuk lingkaran kecil, dan ketika tempo berganti lebih cepat, seketika itu juga bentuk lingkaran tarian berubah menjadi lebih besar. Semakin larut, gerakan makin variasi dan tarian makin pun berbeda.


Gerakan tubuh mereka merapat, melebar, dan membentuk lingkaran yang membesar itu bertujuan untuk memberi gerakan penari lebig leluasa dan lebih bebas saat menari. Beberapa anak-anak membawahkannya dengan beragam ekspresi.

 

Tempo instrument Kenong kembali berganti. Kali ini temponya lebih mengasyikan. Penari perempuan menggerakan tubuh, kepala, tangan dan bagian lain tubuh mereka dengan begitu gemulai. Gelang para penari yang terbuat dari gading mulai berbunyi. Bunyi itu ada akibat gesekan dari sentuhan satu gelang dengan gelang lain yang saling berbenturan.

 

Itulah tarian baleo yang menceritakan aktivitas masyarakat Lamalera di Lembata, Nusa Tenggara Timur. Tarian Baleo merupakan perpaduan Budaya Leva Nuang (aktivitas melaut oleh laki-laki) dan Leva Penete (Aktivitas Barter oleh perempuan). “Tarian Baleo harus diiringi lagu yang bernuansa dan mengisahkan ucapan syukur. Kemarin kita memakai lagu Tanah Lembata Helero,” kata Vosa, salah satu penari Baleo Leva Penete. Tarian Baleo diakhiri dengan tarian Dolo-Dolo, sebagai ucapan syukur atas segala rezeki yang sudah diberikan.


Tarian Dolo-Dolo merupakan puncak tarian malam itu, menandakan bahwa Tarian Leva Penete dan Leva Nuangsudah selesai. Tarian Dolo-Dolo dipentaskan sebagai ungkapan terima kasih dan rasa bersyukur atas hasil tangkapan mamalia dan aktivitas Barter yang sudah mencapai titik akhir. 

 

Lamalera berada di pulau Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Lamalera terkenal dengan tardisi Baleo ( Perburuan mamalia Paus secara tradisional). Perpaduan antara budaya Leva Nuang dan Leva Penete beranam tarian Baleo. Tarian Baleo sudah ada sejak tradisi penangkapan mamalia paus pertama kali muncul, yang menceritakan kehidupan sehari hari maysarakat Lamaleraa.


“Masyarakata Lamaera hanya bisa melaut dan Barter”, jelas Delos, pria asli Lembata itu. keadaan geografis yang memungkinkan, masyarakat Lamalera memilih untuk tidak bertani dan bercocok tanam. 

 

Sebelum berburu mamalia raksasa itu, orang berdoa terlebih dahulu d batu paus. Ritual biasa dibuka dengan upacara misa. Ritual dilakukan dengan mengucapkan percaya bahwa segala rezeki yang ada adalah pemberian berkat yang maha kuasa. 

 

Tarian asal lamalera itu tampil di beberapa event. “di Lembata pernah dipentaskan, di Yogykarta sudah lebih dari tiga kali. Di solo dan Jakarta juga pernah. Kata Delos dengan aksen lembata kental. 


“Pernah saat tampil di jkarta tapi penrinya kita orang lembata dari Yogyakarta yang membawakan,” ia melanjutkan. Pertama kali, tarian baleo tampil pada acara Nusa Tenggara Timur Youht Project (NTT YP). 

Penampilan ke dua di Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) dan penampilan ketiga 

Pada festival Melanesia II. “Usai tampil, setiap penari kadang diberi uang usai pementasan. Uang itu dipakai untuk membeli aksesoris lain untuk menari,” jelas Vosa. 


Tarian Baleo pernah lolos seleksi di FKY. “Lolos seleksi merupakan suatu kebanggaan untuk kita sendiri karena kita harus daftar, kita diseleksi, dan satu minggu kemudian baru saya dihubungi kalau kita lolos seleksi,” terang Vosa sambal melengkungkan senyum. 

Saat mendaftar kami sempat ditanya ini tarian apa. Saya menjawab ini tarian baleo, tarian yang menceritakan proses penangkapan mamalia paus di Lamalera,” Lanjut Vosa.

 

Penari Baleo pernah satu panggung dengan pekerja senior di Yogyakarta, bersama mereka yang sudah punya nama. Baleo adalah satu satunya tarian yang mewakili NTT dan mewaikili Indonesia Timur saat itu. “Sebenarnya tradisi baleo sudah mendunia. Hanya saja, beberapa media tertentu baru mengangkatnya belakangan ini,” terang Delos.


Sanggar lepan batan berdiri pada tahun 2015, terbentuk dari kesadaran anak anak yang memiliki minat di bidang seni tari. Lepan Batan dibentuk untuk mempersatukan Budaya Lamaholot dan budaya kedang. Pembentukan sanggar ini bukan orang Lembata asli. 

 

Sanggar dibentuk dari sejumlah pendiri, tiga orang penasihat, ketua, wakil ketua, koreografer, dan beberapa pengurus lain.


“Awalnya kami (Penari Baleo red) belum terkoordinasi. Sanggar baru terbentuk ketika ada undangan dari komunitas lain, dimana udangan meminta penari lepan batan untuk mengisi acara. Dari momentum itu, anak anak mulai menyadari pentingnya membuat komunitas atau sanggar dab sepakat nama tariannya adalah Baleo,” ucap pria berdanama Delos itu. ia menambahkan, sanggar Lepan Batan bertujuan supaya para penari saling terkoordinasi. Menariknya, pengurus sanggar lepan batan sepenuhnya bukan orang Lembata asli, sedangkan para penari semuanya adalah orang Lembata asli. 

 

Penari Baleo harus memakai busana dan perlengkapan khusus. Penari lelaki memakai Nowing bermotif Mamalia Paus, lumba-lumba dan ikan pari. Memakai salah satu dari ketiga motif juga diperbolehkan. Nowing adalah sarung khusus bagi lelaki Lamalera. Penari perempuan mengenakan Kwatek yang merupakan sarung adat khusus utuk perempuan Lamalera. 


Selain sarung, ada gelang gading yang dikenakan dipergelangan tangan penari perempuan. “Saat tangan penari digerakan dengan gemulai, ada bunyi khas dari gelang itu. Bunyi itu untuk meriuhkan suasana,” kata Vosa. 

 

“Perempuan mengenakan kwatek, tangan penari dihiasai gelang gading, anting gading bulat, dan anting besi putih. Itu semua sudah merupakan tradisi, sebagai wujud rasa syukur kepada Lewo Tanah (Kampung Halaman),” kata Delos.

 

Kepala penari Baleo dihiasi bulu Ayam untuk mempercantik diri. Sebenarnya memakai Daun Lontar untuk menghiasi kepala, namun mengingat di Yogyakarta tidak ada Daun Lontar, sebagai gantinya bulu ayam yang dipakai. 

Salah satu unsur mengapa kepala penari Baleo dihiasi  Daun Lontar karena dahulu kala terdapat pohon tuak (Pohon Lontar) di Lamalera, ditambah belum adanya topi pada masa itu.


“Laki-laki dulu menggunakan nowing, digullung biasa di pinggangnya dan ada parang diikat. Tidak pakai kalung, tidak ada gelang, dan di atas kepala tetap ada daun lontarnya.,” terang Delos. Ina-ina (mama-mama) hanya menjepit kainnya di atas dada. Mereka membawah tas kecil yang terbuat dari Daun Lontar yang berisi Sirih Pinang dan diikat ke samping. Tas itu di bawah kemanapun mereka pergi. Hanya ada anyaman. Pakaian asli sesederhana itu. 

 

Perlengkapan para penari di sanggar Lepan Batan sudah dimodifikasi. Ada gelang yang berbahan kaca karena para penari kekurangan gelang yang terbuat dari Gading. 


Sanggar Lepan Batan kekurangan alat musiK ketika hendak mementaskan tarian Tarian Baleo. Alat musik yang ada sulit dibawah dari Lamalera ke Jogja. Ditambah lagi keberaradaan alat musik Tarian Baleo tidak terkumpul satu tempat di Lamalera. “Saat mau bermain kami harus pinjam ke pihak lain terlebih dahulu. Permasalahan kami hanya kekurangan alat musik,” kata Delos.

 

Sebenarnya dalam memperagakan alat musik Tarian Baleo, suling acapkali dipakai untuk mengiringi para penari agar suasana lebih mengena. Tetapi kemampuan orang dalam bermain suling masih terbatas. 

 

Alat musik Tarian Baleo yang asli hanya ada di kedang, Lamalera, dan Ile Ape. Keberadaan alat musik itu berpencar. Menurut Delos, tentunya ada faktor yang mempengaruhi berpencarnya alat musik tersebut. “Ada dugaan dulu pernah terjadi perang atau bencana gempa. Hingga kini keberadaan alat musik itu tidak terkumpul di satu tempat,” kata Delos. 


Alat musik harus lengkap jika dibawakan oleh tetua penari Baleo Lamalera.”Jika tetua Lamalera yang menari, mau tidak mau mereka harus mengambil dan mengumpulkan semua alat musik yang berpencar tadi,” kata Vosa mengingat ucapan seorang pelatih tarian Baleo di Lamalera.

 

Penari baleo di jogja masih tergolon baru, tidak semahir penaro baleo yang ada di lamalera. Pastinya tarian dan nuansa yang dibawakan juga berbeda. “kalau penarinya oleh tetua lamalera mereka sangat menikmati. Saking menikmatinya, kita yang menonton sampai merinding. Kadang kita merasakan ada aura sakralnya hingga bulu badan pun merinding.” Kata Delos menceritakan pengalamannya ketika menonton pagelaran tarian baleo di suatu event.

 

Sanggar Lepan Batan belum memiliki program kerja lain. Pengurus masih berfokus pada Tarian Baleo. Untuk menjadi pengurus dalam sanggar lepan batan tidak harus orang yang memiliki latar belakang sanggar. “Pengurus terbuka untuk siapa yang mau masuk menjadi pengurus dalam sanaggar ini,” tandas Vosa yang juga merupakan salah satu pendiri Sanggar Lepan Batan.

 

“Sanggar Lepan Batan dibentuk sebagai wadah tempat untuk kita berkumpul dan sharing pengalaman,” kata Delos sembari membakar rokok di tangannya.

 

Menurut sanggar itu sebagai wadah untuk anak-anak Lembata. “Kalau ingin belajar menari, mari kita sama sama menari. Yang latihan tinggal menyesuaikan. Latihan tarian Baleo biasanya kalau ada event,” lanjutnya.

 

Sanggar yang berada di jalan Wahid Hasyim, Condong Catur, Sleman itu mengajak anak-anak muda yang ingin belajar tari, khususnya bagi orang Lembata. Mereka tidak menutup diri untuk orang luar Lembata yang juga ingin belajar tari.

 

Tidak semua orang mengetahui adat istiadat dan tradisi baleo. Adanya sanggar ini sebenarnya untuk menggali lagi potensi yang dimiliki anak anak lembata, supaya bisa melestarikan serta menjaga tradisi baleo supaya tidak termakan zaman. “Jadi tugasnya kita adalah menjaga, kita yang teruskan tradisi itu, bukan orang lain,” kata Vosa.

 

Selain itu, tarian Baleo juga sebagai wadah bagi orang luar lembata agar bisa mempelajari dan mengetatahui tarian Baleo khas Lamalera itu sendiri. “supaya orang bisa tahu, oh ternyata di Lembata punya ini (tarian baelo-red), kita orang Lamalera itu dikenal dengan Baleo, penangkapan mamalia Paus itu,” tutupnya. 

Comments

  1. Facebook 14galery
    Tik Tok 14galery
    https://www.facebook.com/share/1LueiRVR2M/?mibextid=wwXIfr

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Sekolah Indonesia Pertama Bagi Anak TKI di Sabah, Malaysia

Singgah sebentar, melihat Animal Biotechnology milik Sabah Malaysia.