Selain berprofesi sebagai petani Nenek 3 anak ini juga menjadi pedagang borongan di pasar pagi Oringbele, Witihama.
Ayam berkokok menunjukan pukul masih subuh. Subuh itu seorang nenek tua sedang sarapan di depan sebuah bale yang terbuat dari bambu. Baginya menyantap menu sarapan seadanya tidak masalah. Yang terpenting adalah lambungnya yang akan menjadi tenaganya untuk berjualan selama beberapa jam di pasar pagi nanti.
Usai sarapan, kemudian barang dikemas dan diikat dalam satu selebaran kain membentuk gulungan. Pagi itu barang dagangan salah satunya adalah buah nangkah (sudah matang). Buah nangkah tumbuh di depan rumah nenek yang beralamat di dusun 4, Oringbele Witihama, Flores Timur, NTT.
Kaki nenek itu melangkah keluar dari rumah menuju tujuan utama di pasar pagi yaitu untuk berdagang. Baginya berangkat lebih awal adalah hal paling beruntung karena bisa mendapatkan barang dagangan lebih variasi.
Beliau adalah Elisabeth Ebo Pati. Nenek Ebo begitu sebutan akrab dari cucu-cucunya. Dengan sarapan seadanya nenek Ebo kemudian bergerak ke lahan garapan barunya yaitu di pasar pagi. Setiba di pasar, Nenek yang tinggal serumah dengan 4 orang cucu itu harus berebutan dan bersaing dengan pedagang lain yang punya tujuan sama.
Subuh Pukul 3 itu nenek Ebo harus bisa membantah barang dagangan yang dibeli dan kemudian dijual kembali. Barang dagangan mulai sayuran buah-buahan, sampai pada ikan. Tawar menawar dengan pedagang lain sudah menjadi kebiasaan rutinitas nenek itu. kenalan nenek itu tidak sedikit. bisa dilihat pada barang dagangannya dengan hasil yang bervariasi.
“Meski di jual dengan harga tidak ada tapi lumayanlah yang bisa membeli lauk untuk satu hari”, kata nenek Ebo datar.
Nenek Ebo mulai menggeluti profesinya baru itu saat tubuhnya tidak kuat lagi menggarap lahan garapannya di kebun. Profesinya nenek Ebo menjadi pedagang di pasar pagi oringbele bermula sejak tahun 2010. Kini sudah memasuki 10 tahun nenek itu menggeluti profesi menjadi pedagang borongan di pasar pagi Oringbele Witihama. Apa saja yang bisa menjadi bahan untuk disulap menjadi uang yang kemudian dijadikan uang untuk membeli lauk setiap harinya.
Salah satunya adalah buah nangkah yang tumbuh di muka rumah adat. Buah nangkah ini punya cerita sendiri. Dahulu, saat nenek itu masih muda, itu bukan menjadi andalannya untuk dijual. Waktu itu buah nangkah bisa saja disantap oleh siapa saja yang ingin mencoba. Karena di masa itu, dia masih memiliki tenaga yang kuat. Masih bisa mencangkul dan menggarap lahan di kebunnya. Tapi kini keadaan berkata lain. Sebab kini buah nangkah ini adalah salah satu aset penting untuk menghidupi keluarga.
Meski termasuk dalam kategori usia lanjut (lansia), namun nenek masih menjadi andalan keluarga sebagai tulang punggung di keluarganya. Nasipnya masih kurang beruntung seperti nenek / lansia seusianya. Di mana beberapa nenek moyang di sekitar rumah adat sudah mulai menikmati transferan uang dari setiap anak mereka. Namun nenek Ebo masih belum bisa mendapatkan nasip serupa.
“Tapi mau bagaimana bagaimana? Melihat kondisi keluarga begini, Saya harus peduli sesuatu "terang Nene Ebo.
Menjadi Pedagang borongan di pasar pagi adalah lahan subur. Dengan sependapatan seadanya, Nenek Ebo gunakan untuk menafkai keluarganya. Selain itu nenek yang tinggal sama 5 cucunya ini harus memiliki beberapa kebutuhan tambahan sekolah setiap cucunya tersebut (pokok kebutuhan ditanggung oleh orangtua setiap anak, seperti uang sekolah tiap semester / tiap tahun). Kebutuhan tambahan misalnya peralatan tulis yang ditulis, uang transportasi, uang jajan dan hal lain semacamnya.
Dengan semangat seadanya, nenek Ebo sudah berhasil mendidik salah satu cucunya menjadi sarjana. 31 Agusutus 2019 adalah moment penting bagi nenek Ebo. Dia harus menyaksikan hasil didikan salah seorang cucunya menyandang gelar sarjana pada 31 Agusutus 2019 di salah satu Universitas Swasta di Yogyakarta. Di Yogyakarta ini nenek itu melinangkan air matanya. Diam diam dia memberi salam kepada cucunya diiringi dengan tetes air mata bahagianya.
Saat ini beberapa orang cucu nenek Ebo sedang sekolah di beberapa tempat yang berbeda. Ada di Endde, di Makassar, dan 2 orang cucunya lagi masih di kampung 1 masih SMP dan 1 lagi sudah di tahap SMA.
Sudah 3 minggu Nenek Ebo berlibur di Yogyakarta. Minggu 15 September 2019 nenek Ebo sudah kembali ke kampung halamannya. Babi ternaknya yang dia ternak 7 bulan lalu dia jadikan sebagai kurban untuk syukuran wisuda cucunya. Kambing harga 1 jutaan juga menjadi kurban di acara syukuran tersebut.
Kini nenek Ebo kembali menjalani rutinitas tiap harinya, menjadi pedagang borongan di pasar pagi.
Oringbele, September 2019
Comments
Post a Comment