Old City Tolerance


Sedekah itu perintah. Agama mengajarkan ketegasan sikap.
Cerita oleh Anselmus Masan Rumat
Foto oleh = Antonius Dian.
Tokoh Kyai Hj. Gus Za'im
Foto oleh Antonius Dian
Pagi tiba sekali lagi. Pagi itu tampak mendung. Saya menyusuri setapak jalan menuju sebuah rumah. Di sepanjang jalan itu, saya melihat bagar beton dengan ukuran tinggi sekitar 2,5 M. Di dalam pagar itu terdapat rumah dengan ciri khas tersendiri dimana tinggi pintu rumah dalam pagar itu pun sama ukurannya, kira-kira 2, 5 meter. Dari aspek arsitek itu menerangkan pintu rumah orang Tiong Hoa dengan tinggi khas pintu rumah 2,5 meter.  Pintu rumah itu dihiasi dengan kaligrafi Cina kuno yang sudah tampak memudar dilahap usia. Kira-kira 15 meter dari titik tujuan, terdapat sebuah pos Kamling dengan model Tiong Hoa. Dimodifikasi dengan dominasi warna kuning dan merah menyerupai klenteng.

Setiba di tempat tujuan, Saya disambut baik oleh seorang pria separuh tua, bertopi putih, bersarung dan mengenakan baju lengan panjang selayaknya busana Islam. Dia sedari tadi sedang bercengkerama bersama beberapa orang tamunya. Pria itu bernama lengkap K.H Za’im Ahmad Ma’shoem. Orang-orang dan masyarakat setempat biasa menyapanya dengan nama Gus zaim. Gus Zaim tinggal di daerah Kauman Kelurahan Karangturi, kecamatan Lasem kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah. 

Konon katanya, Lasem adalah sebuah desa yang dikenal dengan nama lain Beijing tempo dulu. Kelurahan karangturi itu memiliki lebih banyak penduduk bermata sipit, selayaknya etnis cina (Tiong Hoa). Jika  menggali Lasem lebih, Lasem adalah salah satu daerah yang tidak terkena dampak dari diskriminasi kaum Tiong Hoa di bumi pertiwi Indonesia pada zaman orde baru. Padahal masyarakat di desa ini banyak  berdarah Tiong Hoa.

 Lantas kira kira apa yang membuat diskriminasi etnis Tiong Hoa di Lasem tidak terjadi? Disini, saya sepertinya dialiri rasa penasaran. Berbagai pertanyaan pun saya lontarkan begitu saja. Pertanyaan awal dimulai dari kaligrafi pada rumah ini tampak berbeda. Warna dan bentuknya tersirat lebih jelas.

Di beranda rumah dengan akulturasi budaya cina, jawa dan belanda itu, Gus Zaim menuturkan cikal bakal terjadi penutupan kaligrafi cina kuno pada pintu rumah orang Tiong Hoa di Lasem. Pada tahun 1998, beberapa kota di Jawa diantaranya Solo, Batavia, Jakarta merupakan kota diskriminasi  kaum Tiong Hoa tertinggi. Traumatika orang Tiong Hoa Ketika itu cukup mendalam. 

Untuk mencegah terhindar dari dampak serupa, hampir semua warga Tiong Hoa di Lasem menutup kaligrafi cina kuno pada setiap tembok maupun di pintu rumah mereka. Lebih dari itu, nama gaya Tiong Hoa pun harus berganti dengan nama Jawa atau berganti jadi nama islam. Namun pergantian nama tidak berlaku pada nama rab, eropa dan lainnya.

“Ada satu atau dua rumah memang tidak di tutup. Tapi buktinya ga ada apa-apa. Artinya itu hanya trauma dari masa orde baru”. kata Gus Zaim, Kiai pemimpin pesantren kauman tersebut.

Penutupan kaligrafi cina kuno pun terjadi sebuah rumah masih di kecamatan Lasem, yang kemudian dibeli Gus Zaim pada tahun 1985.  Tanpa inspirasi apapun, pada tahun 1999 membuka penutup (penutupan menggunakan semen) kaligrafi cina tersebut. Pria usia 44 tahun itu mengatakan, kaligrafi tersebut berbicara tentang kesejahteraan hidup. 

Dia mengetahui makna kaligrafi tersebut dari jawaban para tetangga sekitarnya. Ada dua daun pintu. Kaligrafi pada Pintu yang satu berbicara semoga panjang umur setinggi langit dan kaligrafi pada daun pintu kedua berarti semoga luas rezekinya sedalam samudera. Sebagai pengungkapan ketertarikannya pada arti kaligrafi tersebut, Gus zaim lalu mengecat kaligrafi itu dengan warna yang bagus dan indah.

“Kaligrafi itu ternyata berisi doa. Nah kalau doa-kan tinggal di amin-kan saja toh” kata pria 44 tahun itu tersenyum.

Masyarakat Lasem sudah tidak ragu lagi dengan keimanan Gus Zaim dalam ajaran agama Islam pada tahun 1990-an. Sebab, semenjak ayahnya berpulang, di tahun pun dia sudah memimpin pesantren ayahnya. Nama pesantren itu ialah Al Hidayat. Pesantren itu pun mengalami kemajuan dalam mencapai visi misinya. Dia memimpin pesantren itu selama 20 bulan setelah itu diganti oleh saudara kandungnya.

Dari sudut kualitatif, pesantren Al Hidayah mengalami peningkatan karena salah satu program sholat jamaah pun digalakan dengan rutin. Program tersebut membuat para santri ketika itu mengalami kemajuan dan dalam ilmunya. Tidak hanya penggalaan jamaah tapi  dilakukan juga berbagai diskusi.

Masih di Lasem. Memasuki tahun 2001 Gus zaim membeli sebuah rumah di kelurahan kauman Karangturi Lasem. Daerah ini banyak ditemukan perumahan etnis Tiong Hoa. Berdasarkan data statistik, Jumlah penduduk berkulit kuning dan bermata sipit di RW tempat pesantren ini, mencapai 94%, maka tidak heran jika masyarakat Lasem menyebut kawasan ini dengan daerah pecinan. Sebelum pindah ke daerah pecinan ini, Gus zaim terlebih berbaur dan berkenalan dengan penduduk sekitar. Itu merupakan proses perkenalan dirinya.

Pintu rumah baru milik Gus Zaim ini masih diberi label sama seperti pintu rumah Gus zaim di Lawang Ijo (rumah pertama). Pintu rumah itu ditutup. Masalahnya sepeleh saja yaitu  karena pintu rumah itu terdapat kaligrafi cina. Selang dua tahun Gus zaim pindah rumah ke kelurahan karangturi tersebut (rumah kedua red). Beliau mengatakan, dengan spontan dia membuka tulisan itu tersebut.

Fenomena ini kemudian mempengaruhi psikologi orang Tiong Hoa di kelurahan karangturi dan sekitarnya ketika itu. Menurut Gus zaim, psikologi mulai terpengaruh ketika itu. mulai satu persatu membuka tutupan tulisan kaligrafi cina di setiap pintu rumah mereka.

Adapun dialog yang ditirukan Gus zaim ketika di wawancara tentang pembukaan tutupan tulisan cina.

“Dibuka apa ga apa-apa?”
“Ya ga apa-apa. kenapa ada apa-apa… Silahkan aja !”
“kalau begitu saya buka ya?”
 “Monggo_silahkan !”

           Mulai satu persatu tetangganya mulai membuka penutup kaligrafi cina di rumah mereka. . Dari situ mulai munculahl istilah toleransi. Toleransi muncul karena orang-orang berpikir bahwa rumah Gus zaim yang dikonotasikan rumah khas orang jawa namun terdapat kaligrafi cina. “rumah orang jawa ko ada tulisan cinanya?” begitu kata Gus menirukan pertanyaan tentangga di Lasem.

Sebagian orang mengartikan mengawetkan tulisan Cina adalah sebuah toleransi. Namun menurut Gus zaim toleransi tidak hanya diartikan sekecil itu. Toleransi harus diartikan secara luas dalam konteks interaksi sosial sebagai manusia, sebagai makhluk bersosial bahwa  semua manusia adalah sama. Sama-sama berkeinginan untuk berinteraksi yang baik kepada sesama manusia. Beliau menegaskan makna toleransi adalah saling memahami, saling mengerti.

Menoleh pada kisah toleransi di Lasem atau dengan nama lain kota Tiongkok kecil. 

Kisah toleransi di Lasem terjalin rapi sejak sekian ratusan sampai ribuan tahun lamanya. Mulai dari masa penjajahan dan peristiwa perang kuning, perkawinan lintas suku dan hingga masa kini. Tolenransi di Lasem tidak sekedar pengucapan di mulut namun sebaliknya, ucapan dan perbuatan sejalan (beriringan). Toleransi di Lasem terjadi karena disokong oleh toleransi antara kaun elit seperti Pemimpin agama Romo, Pendeta, Ulama, Kiai Haji dan para Tokoh Masyarakat yang heterogen.  Ini yang menjadi cerminan kepada masyarakat di Lasem dari dulu hingga sekarang. Harapannya tidak lain yaitu agar tidak ditemukan masalah dan tidak ada sumbuh suatu perpecahan karena berlatar belakang perbedaan. Gus zaim menekankan bahwa tugas utama generasi sekarang adalah meneruskan (melestarikan) peninggalan leluhur mereka.

Melihat bentuk toleransi masa kini di Lasem.

 Gus zaim dan para santrinya kerap kali terlibat dalam acara kemasyarakatan sebagai tindakan nyata dari toleransi di Lasem itu sendiri. Salah satu tetangga Gus zaim yaitu seorang pria bernama Semar. Jika semar memiliki acara Gawi atau Mantenan, Gus zaim mengizinkan santri-santrinya turut berpartisipasi, misalnya santri laki-laki pasang tratak dan santri perempuan ikut memasak di dapur. Menurut Gus zaim, keterlibatan tersebut bertujuan agar tidak ada tembok perbedaan antara satu dengan lainnya. Sebut saja cina, jawa atau siapapun dia memiliki martabat yang sama.

Semar yang sudah mengenal Gus zaim sejak tahun 1970-an turut menilai Gus Zaim. Semar mengatakan bahwa  Gus zaim adalah orangnya terbuka, mudah bergaul dan suka menolong orang tidak Tiong Hoa yang jatuh tertimpah masalah hidup. Gus zaim bergaul tidak dengan orang di lingkungan saja tapi juga bergaul dengan orang dari desa lain. Menurut Semar Gus zaim cerdas dalam pengambilan sikap dalam sebuah undangan contohnya,  Gus zaim akan datang kalau dia libur, tapi kalau Gus Zaim sedang ada acara di luar kota biasanya, Gus zaim akan menyuruh santri-santrinya yang menghadiri suatu undangan tertentu.

Lantas kira-kira apa yang diajarkan oleh Gus Zaim pada para santrinya? Saya kemudian bertemu dengan salah satu santri di pos kamling bernuansa Klenteng di sebelah pondok pesantren Kauman (Pimpinan Gus zaim). 

"Abah Zaim lebih menekan tentang nilai Tata Krama kepada tetangga dan sesama masyarakat”, begitu kata salah satu santri pesantren kauman bernama Diy’a.

Saya pun datangi oran-orang terdekat Gus Zaim. Thiam Pie yang merupakan kerabat dekat Gus zaim  mengatakan, Gus zaim sering terlibat dalam acara tetangga.  “Gus zaim juga sering hadir pada acara tetangga. Misalnya Ilmek, orang meninggal dan sebagainya” Kata Thiam pie pria cina beragama islam itu.

Toleransi adalah suatu tindakan dengan tidak mempersoalakan perbedaan. Soal toleransi Gus zaim mengatakan beasiswa dari yaman kepada santri-santrinya adalah bentuk toleransi. Di pelataran rumah akulturasi budaya belanda, jawa dan cina itu dia mengatakan, Pada tahun 2001, Pesantren Kauman pertama kali mendapat beasiswa dari Negara Yaman pada tahun 2001. Sejak 2001 sampai sekarang santri kauman terus mendapat beasiswa sampai sekarang. Pernah dalam setahun ada 200 santri yang mendapat beasiswa dan belajar di yaman.

Ketika Menoleh pada sejarah, Gus zaim mengatakan, Dulu tahun 1950/60-an  semua pesantren di Indonesia selalu mengirim para santrinya ke Universitas Islam Madinah, umulkuroh mekah, Saudi Arabia.  Saat itu, Pemerintah Saudi Arabia berharap pada santri yang mendapat beasiswa akan merubah aliran mereka menjadi islam wahabi. Tetapi santri santri indonesia yang sudah biasa berkehidupan di indonesia yang notabene berpengetahuan jamaah hanya menerima ajaran wahabi sebagai pengetahuan ketika keluar tetap saja menjadi santri khas indonesia. Di titik ini pemerintah Saudi Arabi menganggap program beasiswa tersebut gagal. pemerintah Saudi Arabia menganggap santri indoneisa yang dididik disana (Saudi Arabia)  tidak sukses. Akhirnya pemerintah Saudi Arabia mengurangi beasiswa secara terus menerus dan puncaknya dengan pencabutan beasiswa pada tahun  1999.

Tentunya santri  pimpinan Gus zaim (santri didikannya selama 20 bulan di pesantren ayahnya) pun mendapat bagian dari masalah tersebut. Santri Gus zaim tidak mendapat beasiswa selama dua tahun. Hari berganti, musim berubah dan tahun pun berganti.  Tahun 2001 merupakan tahun yang bersahabat. Pesantren Kauman pertama kali mendapat beasiswa dari Negara Yaman pada tahun 2001. Sejak 2001 sampai sekarang santri kauman terus mendapat beasiswa sampai sekarang. Gus zaim mengatakan pernah dalam setahun ada 200 santri yang mendapat beasiswa dan belajar di Yaman. Gus zaim menilai, Orang-orang Hadramaud Yaman sangat Toleran. Menurut dia, santri yang belajar di yaman adalah santri yang hebat, sebab sikap toleransi dari santri-santri tetap melekat pada dan tidak berubah ketika balik dan berada di tanah air (Indonesia).

Pesantren kauman terletak di daerah kauman, desa karangturi Lasem. Diberi nama kauman karena berada di daerah kauman kelurahan karangturi, Lasem. Di pesantren itulah tempat Gus zaim menempah para santri santri nya agar selalu punya sikap tatakrama terhadap tetangga dan sesama masyarakat.  Pesantren yang didirikan karena dari pesan abah-Nya itu, merupakan pesantren khas tradisional. Disebut pesantren karena belum jelas kapan berdirinya pesantren ini.

 Gus zaim menuturkan bahwa Pesantren tradisional dan pesantren modern memiliki perbedaan  dari aspek ciri-ciri.  Menurut pria pemimpin pesantren Kauman itu,  kiai pada pesantren tradisional tinggal bersama santrinya selama 24 jam. Sehingga para santri tau jelas tentang apa yang disampaikan, apa yang diperintahkan dan apa yang dilakukan oleh kiai mereka.  contohnya kiai memerintah anak untuk sholat malam, Untuk melakukan sedekah, untuk meenghormati tamu dan hal lain semacamnya.

 Jadi bocah-bocah pondok juga ngerti saya meelakuakan itu” kata Pria yang sudah menjadi panutan masyarakat sejak tahun 1990-an itu. Dia menambahkan, ”karena 24 jam mereka bersama dengan saya disni. Ada ikon disitu.  Itu pesantren tradisional”.
Tentunya berbeda dengan pesantren modern. Gus zaim mengatakan, kian pada pesantren modern hanya remot (mengontrol) dari jauh bisa ditemukan seperti di sekolahan. Cukup satu kepala sekolah, cukup ada satu pengelolah di situ. Selesai. Logisnya Santri-santri pada pesantren modern tidak tahu menahu tentang apa yang dilakukan kiai mereka sewaktu pulang kerumahnya setelah usai mengajar.
“Bisa jadi dia perintahkan kebaikan, di rumah dia sendiri main judi”, kata Gus zaim. Walaupun dirumah dia melakukan kebaikan tapi murid muridnya tetap tidak tahu. Hubungan yang seperti itulah yang sebernarnya inti dari pendidikan itu sendiri”.

Sambil menyeruput secangkir teh pagi di tangannya, Gus zaim menyarankan jangan hanya memandang pendidikan itu  hanya legal fomalistik.  Karena benar menurut logika belum tentu benar menurut rasa. Jadi yang ditekan malah naluri atau perasaan.

 Jarum jam telah berputar dengan iramanya. Waktu yang dihabis sudah tak terhitung. Merasa masih penasaran tentang ke dalam ilmunya, pertanyaan pun terus saya lontarkan begitu saja. Kali ini Gus zaim bercerita kisah pertarungan hidupnya demi mencari ilmu. Memasuki usia yang ke 13 tahun di tahun 1978, dirinya mulai mondok di beberapa pesantren. Salah satu pesantren tempat dia mempertajam imannya adalah pesantren krapyak di Yogyakarta. Pria kelahiran lasem itu selama 4 tahun mondok di pesantren Krapyak Yogyakarta. Bapa 8 anak itu mengatakan mencari ilmu tidak ada batasan.

Masih di pesantren krapyak Yogyakarta. Interaksi Gus zaim bersama non muslim di kota ini begitu mempengaruhi dirinya lebih toleransi. Di kota gudek itu, pria kelahiran 1 Aguntus 1965 ini,  menyaksikan berbagai interaksi masyarakat yang hidup di kota Yogyakarta atau kota Gudek tersebut. Begini ceritanya. Dia menilai di tampa ada isitilah kegiatan apapun interaksi antar masyarakatnya di kota istimewa tersebut sudah sangat cair. Sudah toleransi.  “Heterogenitas itu menumbuhkan toleransi yang sangat tinggi”, kata pria kelahiran Lasem itu tegas.
Gus zaim menjelaskan, biasanya perumahan yang masyarakatnya plural akan menumbuhkan nilai-nilai toleransi. Masyarakat plural berbeda dengan masyarakat homogen.  Kalau masyarakat homogen kerap kali atas nama menang-menangan dewe. Atas nama akeh menang menangan dewe. Dia menambahkan, di Jogja itu kan, Ya kita taulah di jogja itu masyarakatnya yang sudah campuran gitu. Apalagi di daerah krapyak.
Ketika ditanya kapan Gus zaim belajar toleransi, beliau mengatakan bahwa dia tidak pernah belajar khusus tentang toleransi. Beliau menuturkan lingkungan Lasem-lah  yang menempah dirinya menjadi demikian. Lebih dari itu interaksi dia dengan orang non muslim ketika di jogja  pun turut mempengaruhi hidupnya.
“Dari situlah mulai memengaruhi kehidupan saya bahwa loh kita inikan sama-sama manusia”, kata bapa 8 anak itu seraya tertawa. 
Setelah genap 4 tahun mondok di Pesantren Yogyakarta, akhirnya Gus zaim pulang ke Lasem pada tahun 2008. Di tanah kelahirannya itu, kiai haji zaim tersebut mengajak masyarakat Babagan untuk membangun sebuah mushola di daerah Babagan, Lasem.  Bapa 8 anak itu, mengatakan melibatkan warga di daerah itu dalam pembangunan tersebut. keterlibatan warga dalam pembangunan mushola tersebut bertujuan memunculkan rasa kebersamaan dalam memiliki, merawat dan menggunakan mushola tersebut.
Thiam pie pria Tiong Hoa ini masuk islam pada tahun 2006 karena keramahan Gus zaim, Mengatakan bahwa adanya mushola di daerah Babagan membuat keimanan agama masyarakat di daerah babagan menjadi lebih kuat.
Toleransi oleh Gus zaim tidak hanya di Lasem ataupun di dalam negeri, tapi kisah toleransinya pernah mencuat sampai ke manca Negara pada 2009 silam. Pada akhir tahun 2009  Gus zaim bersama 9 orang anggota Organisasi Nahdlatul ‘Ulama (NU) terlibat dalam aksi perdamaian dunia di Lebanon. Lebanon adalah kota peperangan terbesar di dunia. Titik percecokan terjadi di dataran Golan. Ada perebutan sebongkah tanah di sana. Irael merupakan negara pencipta Episentrum terjadi peperangan tersebut. Perang ini sudah terjadi sudah sejumlah waktu lamanya.
Gus zaim mengaku tidak tahu menahu kenapa dia dipilih bergabung bersama 9 orang NU untuk berangkat membawa misi perdamaian ke Lebanon. Kehadiran Gus zaim bersama teman-temannya di Lebanon membuahkan hasil. Sambil menyerutup teh di cangkirnya, pria yang merupakan anggota NU menambahkan, Selang beberapa bulan kemudian fenomena perang di Lebanon mulai redah.
Gus zaim mengatakan pun tidak ragu-ragu menceritakan apa yang di sampaikan dia dan teman-temannya dalam seminar perdamaian dunia di Lebanon tersebut. Isi dari seminar mereka yaitu mereka memberi contoh bahwa 350 tahun Indonesia di jajah itu karena rakyat indonesia tidak bersatu.  Dia dan teman-temannya mengibaratkan kalau bersatu perdamaian itu akan kuat sekali. Atau apapun permasalahannya tidak akan tembus menjadi perselihan. Sekian isi seminar mereka di Lebanon ketika itu.

Kyai Hj. Gus Za'im tengah santai di depan Kauman, Miliknya
Foto oleh Antonius Dian

 “Walaupun dua tahun belakangan ini terjadi perang lagi. saya pikir itu adalah hobinya orang arab. Suka berperang” tambahnya ditambah gelak tawa terkekeh kekeh.
Ada pesan yang perlu di gasir bawahi dari pesan Gus zaim yaitu jangan salah menilai aliran agama orang lain. Di pelataran rumah yang terdiri dari akulturasi budaya Jawa, Cina dan Belanda itu Gus zaim menuturkan di dalam Islam ada 4 uquowah. Pertama persaudaraan sesama orang NU. Kedua Uquowah Islamiah (Persaudaraan antar umat islam ) ke-tiga, uquowah insaniah : persaudaraan sesama manusia. Ke-empat, uquowah patoniah (Persaudaraan sebangsa)
 Menurut Gus zaim, ketika 4 uquowah itu  dilaksanakan baik-baik, secara arif, secara bertanggung jawab pasti tidak ada pertikiaian ataupun percecokan di dunia. Semuanya akan toleran. Derajat manusia tetap sama walaupun berbeda agama.
 “Kalau disadari gitu kan no problem. Semua berjalan baik-baik saja” katannya menghela napas.
Gus zaim mengatakan,  egosentris manusialah yang menyebabkan terjadi pertikian dan percecokan. Menurut dia, Semua agama dalam konteks ajaran syahriat mengajarkan tentang kebaikkan. Dia menuturkan, agama Islam berisi larangan tidak menyakiti orang. Hal yang sama berlaku juga di agama lain.
Yang namanya sedekah itu perintah”, tutupnya..
Hari sore telah tiba. Awan di sore Februari 2017 itu tampak mendung. Di temani gemiris pelan, saya pun beranjak dari kota tiongkok kecil (Lasem) itu. Ada Pesan khusus yang terpatri rapi dari kota tua itu. Pesan itu tertulis rapi dalam sejarah selama ratusan tahun lamanya bahwa, Toleransi adalah berani menerima dan saling menghargai perbedaan.  Itu Realita!



Comments