Sedekah itu perintah. Agama
mengajarkan ketegasan sikap.
Cerita
oleh Anselmus Masan Rumat
Foto oleh = Antonius Dian.
Foto oleh = Antonius Dian.
Tokoh Kyai Hj. Gus Za'im Foto oleh Antonius Dian |
Pagi tiba
sekali lagi. Pagi itu tampak mendung. Saya menyusuri setapak jalan menuju
sebuah rumah. Di sepanjang jalan itu, saya melihat bagar beton dengan ukuran tinggi sekitar 2,5 M. Di dalam pagar itu terdapat rumah dengan ciri khas tersendiri dimana tinggi
pintu rumah dalam pagar itu pun sama ukurannya, kira-kira 2, 5 meter. Dari aspek arsitek
itu menerangkan pintu rumah orang Tiong Hoa dengan tinggi khas pintu rumah 2,5 meter. Pintu rumah itu dihiasi dengan kaligrafi Cina
kuno yang sudah tampak memudar dilahap usia. Kira-kira 15 meter dari titik tujuan,
terdapat sebuah pos Kamling dengan model Tiong Hoa. Dimodifikasi dengan dominasi warna kuning dan merah
menyerupai klenteng.
Setiba di tempat tujuan, Saya disambut baik oleh seorang pria separuh tua, bertopi putih, bersarung dan mengenakan baju lengan panjang selayaknya busana Islam. Dia sedari tadi sedang bercengkerama bersama beberapa orang tamunya. Pria itu bernama lengkap K.H Za’im Ahmad Ma’shoem. Orang-orang dan masyarakat setempat biasa menyapanya dengan nama Gus zaim. Gus Zaim tinggal di daerah Kauman Kelurahan Karangturi, kecamatan Lasem kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah.
Konon katanya, Lasem adalah sebuah desa yang dikenal dengan nama lain Beijing tempo dulu. Kelurahan karangturi itu memiliki lebih banyak penduduk bermata sipit, selayaknya etnis cina (Tiong Hoa). Jika menggali Lasem lebih, Lasem adalah salah satu daerah yang tidak terkena dampak dari diskriminasi kaum Tiong Hoa di bumi pertiwi Indonesia pada zaman orde baru. Padahal masyarakat di desa ini banyak berdarah Tiong Hoa.
Lantas kira kira apa yang membuat diskriminasi etnis Tiong Hoa di Lasem tidak terjadi? Disini, saya sepertinya dialiri rasa penasaran. Berbagai pertanyaan pun saya lontarkan begitu saja. Pertanyaan awal dimulai dari kaligrafi pada rumah ini tampak berbeda. Warna dan bentuknya tersirat lebih jelas.
Di beranda rumah dengan akulturasi budaya cina, jawa dan belanda itu, Gus Zaim menuturkan cikal bakal terjadi penutupan kaligrafi cina kuno pada pintu rumah orang Tiong Hoa di Lasem. Pada tahun 1998, beberapa kota di Jawa diantaranya Solo, Batavia, Jakarta merupakan kota diskriminasi kaum Tiong Hoa tertinggi. Traumatika orang Tiong Hoa Ketika itu cukup mendalam.
Untuk mencegah terhindar dari dampak serupa, hampir semua warga Tiong Hoa di Lasem menutup kaligrafi cina kuno pada setiap tembok maupun di pintu rumah mereka. Lebih dari itu, nama gaya Tiong Hoa pun harus berganti dengan nama Jawa atau berganti jadi nama islam. Namun pergantian nama tidak berlaku pada nama rab, eropa dan lainnya.
“Ada satu
atau dua rumah memang tidak di tutup. Tapi buktinya ga ada apa-apa. Artinya itu
hanya trauma dari masa orde baru”. kata Gus Zaim, Kiai pemimpin
pesantren kauman tersebut.
Penutupan kaligrafi cina kuno pun terjadi sebuah rumah masih di kecamatan Lasem, yang kemudian dibeli Gus Zaim pada tahun 1985. Tanpa inspirasi apapun, pada tahun 1999
membuka penutup (penutupan menggunakan semen) kaligrafi cina tersebut. Pria usia 44 tahun itu
mengatakan, kaligrafi tersebut berbicara tentang kesejahteraan hidup.
Dia mengetahui makna kaligrafi tersebut dari jawaban para tetangga sekitarnya. Ada dua daun pintu. Kaligrafi pada Pintu yang satu berbicara semoga panjang umur setinggi langit dan kaligrafi pada daun pintu kedua berarti semoga luas rezekinya sedalam samudera. Sebagai pengungkapan ketertarikannya pada arti kaligrafi tersebut, Gus zaim lalu mengecat kaligrafi itu dengan warna yang bagus dan indah.
Dia mengetahui makna kaligrafi tersebut dari jawaban para tetangga sekitarnya. Ada dua daun pintu. Kaligrafi pada Pintu yang satu berbicara semoga panjang umur setinggi langit dan kaligrafi pada daun pintu kedua berarti semoga luas rezekinya sedalam samudera. Sebagai pengungkapan ketertarikannya pada arti kaligrafi tersebut, Gus zaim lalu mengecat kaligrafi itu dengan warna yang bagus dan indah.
“Kaligrafi itu ternyata berisi doa. Nah kalau doa-kan tinggal di
amin-kan saja toh” kata pria 44 tahun itu tersenyum.
Masyarakat Lasem sudah tidak
ragu lagi dengan keimanan Gus Zaim dalam ajaran agama Islam pada tahun 1990-an. Sebab, semenjak
ayahnya berpulang, di tahun pun dia sudah memimpin pesantren ayahnya. Nama
pesantren itu ialah Al Hidayat. Pesantren itu pun mengalami kemajuan dalam mencapai visi
misinya. Dia memimpin pesantren itu selama 20 bulan setelah itu diganti oleh
saudara kandungnya.
Dari sudut kualitatif, pesantren Al Hidayah mengalami
peningkatan karena salah satu program sholat jamaah pun digalakan dengan rutin.
Program tersebut membuat para santri ketika itu mengalami kemajuan dan dalam
ilmunya. Tidak hanya penggalaan jamaah tapi dilakukan juga berbagai diskusi.
Masih di Lasem. Memasuki tahun 2001 Gus zaim membeli sebuah
rumah di kelurahan kauman Karangturi Lasem. Daerah ini banyak ditemukan perumahan etnis Tiong Hoa. Berdasarkan data statistik, Jumlah penduduk berkulit kuning dan bermata sipit
di RW tempat pesantren ini, mencapai 94%, maka tidak heran jika masyarakat
Lasem menyebut kawasan ini dengan daerah pecinan. Sebelum pindah ke daerah
pecinan ini, Gus zaim terlebih berbaur dan berkenalan dengan penduduk sekitar.
Itu merupakan proses perkenalan dirinya.
Pintu rumah baru milik Gus Zaim ini masih diberi label sama seperti pintu rumah Gus zaim di Lawang
Ijo (rumah pertama). Pintu rumah itu ditutup. Masalahnya sepeleh saja
yaitu karena pintu rumah itu terdapat
kaligrafi cina. Selang dua tahun Gus zaim pindah rumah ke kelurahan karangturi
tersebut (rumah kedua red). Beliau mengatakan, dengan spontan dia membuka
tulisan itu tersebut.
Fenomena ini kemudian mempengaruhi psikologi orang Tiong Hoa
di kelurahan karangturi dan sekitarnya ketika itu. Menurut Gus zaim, psikologi
mulai terpengaruh ketika itu. mulai satu persatu membuka tutupan tulisan
kaligrafi cina di setiap pintu rumah mereka.
Adapun dialog yang ditirukan Gus zaim ketika di wawancara
tentang pembukaan tutupan tulisan cina.
“Dibuka apa ga apa-apa?”
“Ya ga apa-apa. kenapa ada apa-apa… Silahkan aja !”
“kalau begitu saya buka ya?”
“Monggo_silahkan !”
Mulai satu persatu tetangganya mulai membuka penutup kaligrafi cina di rumah mereka. . Dari situ mulai munculahl istilah toleransi.
Toleransi muncul karena orang-orang berpikir bahwa rumah Gus zaim yang
dikonotasikan rumah khas orang jawa namun terdapat kaligrafi cina. “rumah
orang jawa ko ada tulisan cinanya?” begitu kata Gus menirukan pertanyaan
tentangga di Lasem.
Sebagian orang mengartikan mengawetkan tulisan Cina adalah sebuah toleransi. Namun menurut Gus zaim toleransi tidak hanya
diartikan sekecil itu. Toleransi harus diartikan secara luas dalam konteks
interaksi sosial sebagai manusia, sebagai makhluk bersosial bahwa semua manusia adalah sama. Sama-sama
berkeinginan untuk berinteraksi yang baik kepada sesama manusia. Beliau
menegaskan makna toleransi adalah saling memahami, saling mengerti.
Menoleh pada kisah toleransi di Lasem atau dengan nama lain
kota Tiongkok kecil.
Kisah toleransi di Lasem terjalin rapi sejak sekian ratusan sampai ribuan tahun lamanya. Mulai dari masa penjajahan dan peristiwa perang kuning, perkawinan lintas suku dan hingga masa kini. Tolenransi di Lasem tidak sekedar pengucapan di mulut namun sebaliknya, ucapan dan perbuatan sejalan (beriringan). Toleransi di Lasem terjadi karena disokong oleh toleransi antara kaun elit seperti Pemimpin agama Romo, Pendeta, Ulama, Kiai Haji dan para Tokoh Masyarakat yang heterogen. Ini yang menjadi cerminan kepada masyarakat di Lasem dari dulu hingga sekarang. Harapannya tidak lain yaitu agar tidak ditemukan masalah dan tidak ada sumbuh suatu perpecahan karena berlatar belakang perbedaan. Gus zaim menekankan bahwa tugas utama generasi sekarang adalah meneruskan (melestarikan) peninggalan leluhur mereka.
Melihat bentuk toleransi masa kini di Lasem.
Kisah toleransi di Lasem terjalin rapi sejak sekian ratusan sampai ribuan tahun lamanya. Mulai dari masa penjajahan dan peristiwa perang kuning, perkawinan lintas suku dan hingga masa kini. Tolenransi di Lasem tidak sekedar pengucapan di mulut namun sebaliknya, ucapan dan perbuatan sejalan (beriringan). Toleransi di Lasem terjadi karena disokong oleh toleransi antara kaun elit seperti Pemimpin agama Romo, Pendeta, Ulama, Kiai Haji dan para Tokoh Masyarakat yang heterogen. Ini yang menjadi cerminan kepada masyarakat di Lasem dari dulu hingga sekarang. Harapannya tidak lain yaitu agar tidak ditemukan masalah dan tidak ada sumbuh suatu perpecahan karena berlatar belakang perbedaan. Gus zaim menekankan bahwa tugas utama generasi sekarang adalah meneruskan (melestarikan) peninggalan leluhur mereka.
Melihat bentuk toleransi masa kini di Lasem.
Gus zaim dan para santrinya kerap kali terlibat dalam acara kemasyarakatan sebagai tindakan nyata dari toleransi di Lasem itu sendiri. Salah satu tetangga Gus zaim yaitu seorang pria bernama Semar. Jika semar memiliki acara Gawi atau Mantenan, Gus zaim mengizinkan santri-santrinya turut berpartisipasi, misalnya santri laki-laki pasang tratak dan santri perempuan ikut memasak di dapur. Menurut Gus zaim, keterlibatan tersebut bertujuan agar tidak ada tembok perbedaan antara satu dengan lainnya. Sebut saja cina, jawa atau siapapun dia memiliki martabat yang sama.
Semar yang sudah mengenal Gus zaim sejak tahun 1970-an turut
menilai Gus Zaim. Semar mengatakan bahwa Gus zaim adalah orangnya terbuka, mudah
bergaul dan suka menolong orang tidak Tiong Hoa yang jatuh tertimpah masalah
hidup. Gus zaim bergaul tidak dengan orang di lingkungan saja tapi juga bergaul
dengan orang dari desa lain. Menurut Semar Gus zaim cerdas dalam pengambilan
sikap dalam sebuah undangan contohnya,
Gus zaim akan datang kalau dia libur, tapi kalau Gus Zaim sedang ada acara di
luar kota biasanya, Gus zaim akan menyuruh santri-santrinya yang menghadiri suatu undangan tertentu.
Lantas kira-kira apa yang diajarkan oleh Gus Zaim pada para santrinya? Saya kemudian bertemu
dengan salah satu santri di pos kamling bernuansa Klenteng di sebelah pondok
pesantren Kauman (Pimpinan Gus zaim).
"Abah Zaim lebih menekan tentang nilai Tata Krama kepada tetangga dan sesama masyarakat”, begitu kata salah satu santri pesantren kauman bernama Diy’a.
"Abah Zaim lebih menekan tentang nilai Tata Krama kepada tetangga dan sesama masyarakat”, begitu kata salah satu santri pesantren kauman bernama Diy’a.
Saya pun datangi oran-orang terdekat Gus Zaim. Thiam Pie
yang merupakan kerabat dekat Gus zaim
mengatakan, Gus zaim sering terlibat dalam acara tetangga. “Gus
zaim juga sering hadir pada acara tetangga. Misalnya Ilmek, orang meninggal dan
sebagainya” Kata Thiam pie pria cina beragama islam itu.
Toleransi adalah suatu tindakan dengan tidak mempersoalakan
perbedaan. Soal toleransi Gus zaim mengatakan beasiswa dari yaman kepada
santri-santrinya adalah bentuk toleransi. Di pelataran rumah akulturasi budaya
belanda, jawa dan cina itu dia mengatakan, Pada tahun 2001, Pesantren Kauman
pertama kali mendapat beasiswa dari Negara Yaman pada tahun 2001. Sejak 2001
sampai sekarang santri kauman terus mendapat beasiswa sampai sekarang. Pernah
dalam setahun ada 200 santri yang mendapat beasiswa dan belajar di yaman.
Ketika Menoleh pada sejarah, Gus zaim mengatakan, Dulu tahun
1950/60-an semua pesantren di Indonesia
selalu mengirim para santrinya ke Universitas Islam Madinah, umulkuroh mekah,
Saudi Arabia. Saat itu, Pemerintah Saudi
Arabia berharap pada santri yang mendapat beasiswa akan merubah aliran mereka
menjadi islam wahabi. Tetapi santri santri indonesia yang sudah biasa
berkehidupan di indonesia yang notabene berpengetahuan jamaah hanya menerima
ajaran wahabi sebagai pengetahuan ketika keluar tetap saja menjadi santri khas
indonesia. Di titik ini pemerintah Saudi Arabi menganggap program beasiswa
tersebut gagal. pemerintah Saudi Arabia menganggap santri indoneisa yang
dididik disana (Saudi Arabia) tidak
sukses. Akhirnya pemerintah Saudi Arabia mengurangi beasiswa secara terus
menerus dan puncaknya dengan pencabutan beasiswa pada tahun 1999.
Tentunya santri
pimpinan Gus zaim (santri didikannya selama 20 bulan di pesantren
ayahnya) pun mendapat bagian dari masalah tersebut. Santri Gus zaim tidak
mendapat beasiswa selama dua tahun. Hari berganti, musim berubah dan tahun pun
berganti. Tahun 2001 merupakan tahun
yang bersahabat. Pesantren Kauman pertama kali mendapat beasiswa dari Negara
Yaman pada tahun 2001. Sejak 2001 sampai sekarang santri kauman terus mendapat
beasiswa sampai sekarang. Gus zaim mengatakan pernah dalam setahun ada 200
santri yang mendapat beasiswa dan belajar di Yaman. Gus zaim menilai,
Orang-orang Hadramaud Yaman sangat Toleran. Menurut dia, santri yang belajar di
yaman adalah santri yang hebat, sebab sikap toleransi dari santri-santri tetap
melekat pada dan tidak berubah ketika balik dan berada di tanah air
(Indonesia).
Pesantren kauman terletak di daerah kauman, desa karangturi
Lasem. Diberi nama kauman karena berada di daerah kauman kelurahan karangturi,
Lasem. Di pesantren itulah tempat Gus zaim menempah para santri santri nya agar
selalu punya sikap tatakrama terhadap tetangga dan sesama masyarakat. Pesantren yang didirikan karena dari pesan
abah-Nya itu, merupakan pesantren khas tradisional. Disebut pesantren karena belum
jelas kapan berdirinya pesantren ini.
Gus zaim menuturkan
bahwa Pesantren tradisional dan pesantren modern memiliki perbedaan dari aspek ciri-ciri. Menurut pria pemimpin pesantren Kauman itu, kiai pada pesantren tradisional tinggal bersama
santrinya selama 24 jam. Sehingga para santri tau jelas tentang apa yang
disampaikan, apa yang diperintahkan dan apa yang dilakukan oleh kiai mereka. contohnya kiai memerintah anak untuk sholat
malam, Untuk melakukan sedekah, untuk meenghormati tamu dan hal lain semacamnya.
“Jadi bocah-bocah pondok juga ngerti saya meelakuakan itu” kata Pria
yang sudah menjadi panutan masyarakat sejak tahun 1990-an itu. Dia menambahkan, ”karena 24 jam mereka
bersama dengan saya disni. Ada ikon disitu.
Itu pesantren tradisional”.
Tentunya berbeda dengan pesantren modern. Gus zaim
mengatakan, kian pada pesantren modern hanya remot (mengontrol) dari jauh bisa
ditemukan seperti di sekolahan. Cukup satu kepala sekolah, cukup ada satu pengelolah
di situ. Selesai. Logisnya Santri-santri pada pesantren modern tidak tahu
menahu tentang apa yang dilakukan kiai mereka sewaktu pulang kerumahnya setelah
usai mengajar.
“Bisa jadi
dia perintahkan kebaikan, di rumah dia sendiri main judi”, kata Gus zaim. Walaupun dirumah dia melakukan kebaikan tapi
murid muridnya tetap tidak tahu. Hubungan yang seperti itulah yang sebernarnya
inti dari pendidikan itu sendiri”.
Sambil menyeruput secangkir teh pagi di tangannya, Gus zaim
menyarankan jangan hanya memandang pendidikan itu hanya legal fomalistik. Karena benar menurut logika belum tentu benar
menurut rasa. Jadi yang ditekan malah naluri atau perasaan.
Jarum jam telah
berputar dengan iramanya. Waktu yang dihabis sudah tak terhitung. Merasa masih
penasaran tentang ke dalam ilmunya, pertanyaan pun terus saya lontarkan begitu
saja. Kali ini Gus zaim bercerita kisah pertarungan hidupnya demi mencari ilmu.
Memasuki usia yang ke 13 tahun di tahun 1978, dirinya mulai mondok di beberapa
pesantren. Salah satu pesantren tempat dia mempertajam imannya adalah pesantren
krapyak di Yogyakarta. Pria kelahiran lasem itu selama 4 tahun mondok di
pesantren Krapyak Yogyakarta. Bapa 8 anak itu mengatakan mencari ilmu tidak ada
batasan.
Masih di pesantren krapyak Yogyakarta. Interaksi Gus zaim
bersama non muslim di kota ini begitu mempengaruhi dirinya lebih toleransi. Di
kota gudek itu, pria kelahiran 1 Aguntus 1965 ini, menyaksikan berbagai interaksi masyarakat
yang hidup di kota Yogyakarta atau kota Gudek tersebut. Begini ceritanya. Dia
menilai di tampa ada isitilah kegiatan apapun interaksi antar masyarakatnya di
kota istimewa tersebut sudah sangat cair. Sudah toleransi. “Heterogenitas
itu menumbuhkan toleransi yang sangat tinggi”, kata pria kelahiran Lasem itu
tegas.
Gus zaim menjelaskan, biasanya perumahan yang masyarakatnya
plural akan menumbuhkan nilai-nilai toleransi. Masyarakat plural berbeda dengan
masyarakat homogen. Kalau masyarakat
homogen kerap kali atas nama menang-menangan dewe. Atas nama akeh menang
menangan dewe. Dia menambahkan, di Jogja itu kan, Ya kita taulah di jogja itu
masyarakatnya yang sudah campuran gitu. Apalagi di daerah krapyak.
Ketika ditanya kapan Gus zaim belajar toleransi, beliau
mengatakan bahwa dia tidak pernah belajar khusus tentang toleransi. Beliau
menuturkan lingkungan Lasem-lah yang
menempah dirinya menjadi demikian. Lebih dari itu interaksi dia dengan orang
non muslim ketika di jogja pun turut
mempengaruhi hidupnya.
“Dari
situlah mulai memengaruhi kehidupan saya bahwa loh kita inikan sama-sama
manusia”, kata bapa 8 anak itu seraya tertawa.
Setelah genap 4 tahun mondok di Pesantren Yogyakarta,
akhirnya Gus zaim pulang ke Lasem pada tahun 2008. Di tanah kelahirannya itu,
kiai haji zaim tersebut mengajak masyarakat Babagan untuk membangun sebuah
mushola di daerah Babagan, Lasem. Bapa 8
anak itu, mengatakan melibatkan warga di daerah itu dalam pembangunan tersebut.
keterlibatan warga dalam pembangunan mushola tersebut bertujuan memunculkan
rasa kebersamaan dalam memiliki, merawat dan menggunakan mushola tersebut.
Thiam pie pria Tiong Hoa ini masuk islam pada tahun 2006
karena keramahan Gus zaim, Mengatakan bahwa adanya mushola di daerah Babagan
membuat keimanan agama masyarakat di daerah babagan menjadi lebih kuat.
Toleransi oleh Gus zaim tidak hanya di Lasem ataupun di
dalam negeri, tapi kisah toleransinya pernah mencuat sampai ke manca Negara
pada 2009 silam. Pada akhir tahun 2009
Gus zaim bersama 9 orang anggota Organisasi Nahdlatul ‘Ulama (NU)
terlibat dalam aksi perdamaian dunia di Lebanon. Lebanon adalah kota peperangan
terbesar di dunia. Titik percecokan terjadi di dataran Golan. Ada perebutan
sebongkah tanah di sana. Irael merupakan negara pencipta Episentrum terjadi
peperangan tersebut. Perang ini sudah terjadi sudah sejumlah waktu lamanya.
Gus zaim mengaku tidak tahu menahu kenapa dia dipilih
bergabung bersama 9 orang NU untuk berangkat membawa misi perdamaian ke
Lebanon. Kehadiran Gus zaim bersama teman-temannya di Lebanon membuahkan hasil.
Sambil menyerutup teh di cangkirnya, pria yang merupakan anggota NU
menambahkan, Selang beberapa bulan kemudian fenomena perang di Lebanon mulai
redah.
Gus zaim mengatakan pun tidak ragu-ragu menceritakan apa
yang di sampaikan dia dan teman-temannya dalam seminar perdamaian dunia di
Lebanon tersebut. Isi dari seminar mereka yaitu mereka memberi contoh bahwa 350
tahun Indonesia di jajah itu karena rakyat indonesia tidak bersatu. Dia dan teman-temannya mengibaratkan kalau
bersatu perdamaian itu akan kuat sekali. Atau apapun permasalahannya tidak akan
tembus menjadi perselihan. Sekian isi seminar mereka di Lebanon ketika itu.
Kyai Hj. Gus Za'im tengah santai di depan Kauman, Miliknya Foto oleh Antonius Dian |
“Walaupun
dua tahun belakangan ini terjadi perang lagi. saya pikir itu adalah hobinya
orang arab. Suka berperang” tambahnya ditambah gelak tawa terkekeh kekeh.
Ada pesan yang perlu di gasir bawahi dari pesan Gus zaim
yaitu jangan salah menilai aliran agama orang lain. Di pelataran rumah yang
terdiri dari akulturasi budaya Jawa, Cina dan Belanda itu Gus zaim menuturkan
di dalam Islam ada 4 uquowah. Pertama persaudaraan sesama orang NU. Kedua
Uquowah Islamiah (Persaudaraan antar umat islam ) ke-tiga, uquowah insaniah :
persaudaraan sesama manusia. Ke-empat, uquowah patoniah (Persaudaraan sebangsa)
Menurut Gus zaim,
ketika 4 uquowah itu dilaksanakan
baik-baik, secara arif, secara bertanggung jawab pasti tidak ada pertikiaian ataupun
percecokan di dunia. Semuanya akan toleran. Derajat manusia tetap sama walaupun
berbeda agama.
“Kalau disadari gitu kan no problem. Semua
berjalan baik-baik saja” katannya menghela napas.
Gus zaim mengatakan,
egosentris manusialah yang menyebabkan terjadi pertikian dan percecokan.
Menurut dia, Semua agama dalam konteks ajaran syahriat mengajarkan tentang
kebaikkan. Dia menuturkan, agama Islam berisi larangan tidak menyakiti orang.
Hal yang sama berlaku juga di agama lain.
“Yang namanya sedekah
itu perintah”, tutupnya..
Hari sore telah tiba. Awan di sore Februari 2017 itu tampak
mendung. Di temani gemiris pelan, saya pun beranjak dari kota tiongkok kecil
(Lasem) itu. Ada Pesan khusus yang terpatri rapi dari kota tua itu. Pesan itu
tertulis rapi dalam sejarah selama ratusan tahun lamanya bahwa, Toleransi
adalah berani menerima dan saling menghargai perbedaan. Itu Realita!
Comments
Post a Comment